** Originally posted on October 3, 2012
Terakhir kali gue mengalami kehilangan yang begitu besar dari keluarga inti adalah saat almarhum Papa meninggal 13 tahun lalu karena sakit. Wakti itu dikarenakan beliau sakit cukup lama, gue sudah mempersiapkan diri untuk hal yang terburuk. Setelah itu, sama sekali tidak terbayangkan oleh gue bahwa kejadian serupa akan terulang kembali di dalam keluarga inti (untuk saat-saatini, di usia yang masih relatif muda).
Seperti mungkin sudah diketahui oleh beberapa yang suka baca blog ini, gue tinggal di Jakarta bersama Eyangti. Icha, adik perempuan gue juga tinggal di Jakarta tapi lebih memilih untuk ngekos. Sementara itu, Ongge adik lelaki gue tinggal di Solo sejak kelas 3 SD bersama keluarga tante gue. Iya, kami adalah keluarga yang terpaksa tercerai berai domisilinya, tapi sejauh ini selalu berhubungan rutin via sms/telepon/bbm dan selalu bertemu setiap liburan.
Gue masih ingat, pagi itu gue mendapat sms dari salah satu tante gue di Yogya bahwa Ongge mengalami sakit kepala dan menolak untuk dibawa ke dokter. Sudah jadi kebiasaan adik gue untuk menunda ke dokter saat sedang sakit. Hari itu juga gue langsung telepon dia dan bawel marahin agar segera ke dokter. Nggak lupa juga gue titip pesan ke Tante Nuk (tante yang mengurus Ongge sejak SD) untuk mengawasi keadaannya.
Selang beberapa hari, gue mendapat laporan bahwa Ongge sudah ke dokter dan hanya perlu rawat jalan untuk mengetahui perkembangan sakitnya. Saat itu belum diketahui penyebabnya. Dokter memperkirakan bahwa pusing hebat itu disebabkan oleh stressnya Ongge menghadapi ujian semester di kampusnya.
Keadaan tenang sesaat, sampai kira-kira tiga hari kemudian Te Nuk memberi kabar bahwa Ongge mengalami sakit kepala lebih parah dari yang sebelumnya sampai teriak kesakitan dan tidak sanggup untuk berdiri. Keluarga di Solo segera membawa Ongge ke rumah sakit untuk ditangani. Sampai di sana, Ongge sudah tidak sadar dan langsung ditangani oleh dokter. CT scan dan proses lainnya dilakukan sampai akhirnya masuk ke ICU. Di hari yang sama, Mama dan Papanya Ongge berangkat ke Solo untuk mendampingi. Komunikasi keluarga sangat riweuh karena semua panik. Semua saling mengabari dan update kabar terkini dari Solo. Sempat terpikir apakah gue dan Icha perlu berangkat ke Solo, namun akhirnya ditunda karena satu dan lain hal.
Hasil dari pemeriksaan dokter, Ongge mengalami pendarahan di otak. Namun tidak perlu dioperasi karena tidak termasuk parah dan lukanya bisa membaik sendiri. Kata bude gue yang juga dokter, biasanya ini karena bawaan lahir yang berarti pmbuluh darah di otak Ongge tipis dan rentan mengalami “luka” di saat sedang stress. Maaf, gue lupa apa istilah medisnya. Jadi yang perlu dilakukan adalah menunggu Ongge untuk sadar. Alhamdulillah, dua hari kemudian Ongge sadar dan setelah di CT scan semua sudah membaik dengan alami. Walau masih lemah, tapi dia bisa berinteraksi dengan baik. Dua hari kemudia ia diizinkan untuk pulang.
Tentu nggak bisa digambarkan bagaimana lega dan bahagianya kami atas kabar itu. Sepulang dari rumah sakit, Ongge masih harus beristirahat total. Dokter melarangnya untuk membaca, nonton tv, bahkan main hp pun dilarang demi mengistirahatkan aktivitas otaknya. Jadi hpnya dititipkan ke salah satu kerabat, dengan pesan darinya bahwa kalau terjadi sesuatu sama dia, gue dan Icha harus langsung dihubungi. Jadi gue selalu memantau perkembangan kesehatannya dengan menghubungi keluarga di Solo. Kabar simpel apa pun yang berhubungan dengan kemajuan kesehatannya bisa bikin gue bahagia luar biasa.
Sampai beberapa hari kemudian, di saat gue sedang melayat teman gue yang berduka kehilangan bayinya di dalam kandungan, gue mendapat berita duka lainnya. Salah satu tante gue mengabarkan bahwa Ongge sudah berpulang. Ia meninggal dalam keadaan tidur di rumah.
Jantung gue sejenak rasanya berhenti. Gue hanya bisa diam, bahkan udah nggak mendengarkan penjelasan yang diucapkan oleh tante gue. Gue langsung pulang dan sampai di rumah langsung ambruk di hadapan Eyangti. Malam itu juga gue, Icha, Eyangti, om dan sepupu gue memutuskan untuk berangkat ke Solo. Namun sayangnya kita ketinggalan pesawat sehingga harus menginap di hotel terdekat agar bisa mengejar pesawat paling pagi esokannya.
Besoknya kami berangkat dengan pesawat paling pagi ke Yogyakarta, lalu perjalanan dilanjutkan dengan mobil sampai ke Solo. Tiba di rumah Solo, jenazah Ongge sudah dimandikan. Alhamdulillah, gue sempat melihatnya dan menyaksikan dia tersenyum. Dengan berjalannya waktu menuju proses pemakaman, rumah Te Nuk semakin ramai oleh pelayat. Gue tidak mengira bahwa akan ada begitu banyak orang yang melayat, sampai membludak ke jalan. Dari tetangga, guru SD hingga dosen kampusnya, teman sekolah, teman main, hingga abang becak dan pedagang sekitar rumah datang. Semua melepas kepergian almarhum.
Kata orang-orang, manusia pergi dengan meninggalkan amal dan kenangan terhadap sesamanya. Katanya, bila ingin tahu seberapa besar kesan yang ditinggalkan oleh seseorang, lihatlah pada saat pemakamannya.
Hari itu, gue mendengarkan beberapa cerita kenangan tentang Ongge dari berbagai teman, guru, dan orang lain. Bagaimana dia selalu siap membantu dan ramah ke semua orang. Gurunya menceritakan kebandelan Ongge yang lucu-lucu di sekolah. Karyawan di tempat dia magang, menyatakan sifat tegas Ongge kalau lagi kerja. Sampai ke abang becak dan pedagang sekitar rumah bercerita bahwa Ongge sempat berbagi rezeki dengan mereka sebelum jatuh sakit.
Di tengah rasa sedih, gue juga bersyukur bahwa Ongge telah meninggalkan kami dengan kesan yang sungguh baik. Bahwa ia pergi dengan tenang dan terbebaskan dari rasa sakitnya. Ini adalah yang terbaik.
Setelah menyelesaikan proses pemakaman, kami kembali ke rumah. Gue pergi ke kamar almarhum untuk membereskan barang-barangnya. Namun ternyata sebagian besar baju, tas, dan sepatunya sudah tidak ada. Barulah gue diberi tahu bahwa sebelum sakit, ia sudah memberikan barang-barangnya untuk orang-orang yang membutuhkan. Begitu pun dengan segala perlengkapan akademisnya, setelah menyelesaikan ujian semester ia langsung mengembalikan semua buku yang dipinjam dari perpustakaan agar tidak merepotkan orang lain.
Di atas meja belajarnya hampir tidak ada barang. Hanya ada 2 buku dan beberapa foto keluarga yang dipajang. Gue sempat nangis lagi begitu lihat foto-foto itu. Terbayang mungkin kadang Ongge kesepian dan melepas kangen sambil lihat foto-foto keluarga. Percaya deh, sekuat dan semandiri apa pun kalian, hidup dengan keluarga yang terpisah-pisah sejak kecil itu tidak mudah. Ada masanya kalian akan menyalahkan semua pihak karena kalian harus mengalami ini. Tapi gue sekali lagi bersyukur, walau keluarga inti kami hidup terpisah, masih ada keluarga besar yang mendukung dan melimpahkan kasih sayangnya.
Sampai sekarang gue masih suka “lupa” kalau Ongge sudah berpulang, tapi biasanya langsung sadar kalau almarhum sudah ada di tempat yang lebih baik. Foto gue dan Ongge yang terakhir kalinya, adalah foto di hari ulang tahun gue Februari kemarin. Ongge yang biasanya nggak pernah datang saat ulang tahun gue karena memang bukan waktunya libur sekolah, tahun ini datang dan memberi surprise buat gue. Nggak ada lagi yang kita tunggu-tunggu datang ke Jakarta setiap liburan (Ongge udah berani PP Solo-Jakarta sendirian sejak 1 SMP). Nggak ada lagi yang menghubungi kita untuk ngabarin butuh sesuatu atau mengabarkan nilainya atau sekedar ngobrol biasa. Nggak ada lagi yang suka nawarin martabak manis tengah malam di saat lagi liburan dan berbagai kehilangan yang akan kita kangenin.
Selamat jalan adikku,
Antariksa Hening Satoto Indrayana Daniswara
19 Juni 1991 – 31 Mei 2012
Foto ramai-ramai saat ulang tahun gue bersama Ongge, Eyangti, Om dan Tante, sepupu-sepupu